Indonesia : Demokrasi, Toleransi, Jokowi dan Kang Emil

Di antara banyaknya isu-isu dan kejadian-kejadian yang menggelitik nalar, Indonesia sekarang ini sebenarnya sedang tersenyum. Kehadiran Bapak Presiden Joko Widodo adalah sesuatu yang patut disyukuri, terlepas apakah kebijakan Beliau diterima atau ditentang oleh sebagian orang. Terlepas apakah cara Beliau memimpin disukai atau dikritik oleh sebagaian penduduk. Namun yang jelas, dari video-video yang tersebar di Youtube, kita bisa melihat bagaimana Beliau bisa membuat kita tertawa mengenai hal-hal sepele. Pidato-pidato Beliau yang ditonton oleh banyak kalangan menjadi bukti bahwa seorang presiden mampu menjadi penyejuk di antara gerahnya pandangan-pandangan yang sekarang amat beragam dan berlomba-lomba untuk mendominasi. Kehadiran Beliau layaknya nenek kita yang mendongeng agar tidur kita dihiasi mimpi indah.

Saya adalah salah seorang yang menikmati video-video tersebut. Melihat wajah-wajah yang berdebar-debar ketika ditanya tentang hal-hal sepele yang tak jarang membuat lidah salah gerak dan salah ucap, melihat ekspresi-ekspresi puas dan bahagia ketika mendapatkan sepeda dari orang nomor satu di negeri ini, saya tentu saja ikut bahagia. Berbagi adalah berbahagia. Tapi di balik itu semua, saya merasa ada pesan yang sangat jelas yang ingin disampaikan oleh Bapak Presiden kepada kita. Lihat dari contoh pertanyaan-pertanyaan yang Beliau ajukan kepada rakyatnya. Tentang pulau yang jumlahnya ribuan, tentang suku yang ratusan, tentang bahasa dan dialeg daerah yang melimpah ruah, tentang lagu-lagu daerah yang melodinya sangat kaya dan beragam. Beliau sepertinya mencoba untuk mengingatkan bahwa sebagai rakyat indonesia, kita harusnya sadar bahwa salah satu kekuatan besar kita adalah mampu bersatu dan mentoleransi satu sama lain dalam perbedaan yang kita miliki. Kita seperti pelangi, indah karena keberagaman. Agama yang kita anut, bahasa ibu yang kita gunakan, warna kulit kita, semua itu adalah perbedaan yang tak seharusnya membuat kita berpecah belah justru menjadi rantai penguat agar kita tetap bersatu dengan sudut pandang yang berbeda. Pak Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia pun berhasil membuat saya merasa memiliki harapan lagi. Sebuah harapan akan masa depan yang lebih baik.

Indonesia tidak buruk-buruk amat, tentu saja. Masih ada tawa dan senyuman yang bisa kita temukan di mana-mana. Sebagai penikmat demokrasi, kita memang sepatutnya bersyukur. Kebebasan untuk berpendapat adalah kemewahan yang tak bisa dinikmati oleh sebagian orang di dunia ini. Lihat, karena demokrasi, mereka jadi bisa mengkritik pejabat-pejabat nakal. Karena demokrasi, kita bisa menyuarakan suara-suara yang tersembunyi. Kita telah merdeka. Kita adalah tuan atas diri kita sendiri. Kalau ada yang ragu tentang itu, menyuarakan hal itu, maka ia perlu menyadari apa yang sedang ia katakan. Kita memiliki kebebasan.

Sayangnya, kebebabasan yang kita bangga-banggakan itu ternyata telah melampaui batas. Karena demokrasi, mereka berani menyuarakan kebencian. Karena demokrasi, mereka berani menantang Pancasila. Bahkan mirisnya lagi, karena demokrasi, mereka berani terang-terangan bersuara untuk menolak demokrasi itu sendiri. Ini seperti memakan tubuh sendiri. Tentu saja ini adalah sisi gelap dari demokrasi. Kalau membebaskan orang berbicara, tetapi dengan syarat hanya yang baik-baik saja, maka itu bukan demokrasi yang sebenarnya. Kalau mempersilakan orang untuk berpendapat tetapi diwajibkan untuk santun, maka demokrasi itu harus kita pertanyakan, walaupun pada dasarnya santun adalah nilai tambah dan keunikan tersendiri.

Kita tidak boleh menyalahkan demokrasi tetapi juga kita tak bisa menolak untuk meyakini bahwa demokrasi adalah penyebabnya. Tentu saja bukan penyebab tunggal. Bukankah Bapak Presiden sendiri sudah menjelaskan betapa beragamnya kita? Kalau antara dua orang yang kembar identik saja bisa memiliki karakter yang berbeda, apalagi orang yang berbeda suku. Apalagi orang yang berbeda profesi. Lingkungan, teman bergaul, masalah yang dihadapi, pendidikan, tekanan yang didapatkan, itu semua membentuk karakter seorang manusia. Jadi, kalau ada suara yang mereka teriakkan memekakkan telinga, maka demokrasi bukanlah satu-satunya yang perlu disalahkan.

Akhir-akhir ini kata hoax sangat populer. Di Jakarta sana, sebuah daerah yang hanya ditinggali oleh lebih kurang sepuluh persen dari jumlah penduduk indonesia, mampu mengajak seluruh warga indonesia, khususnya yang muda-muda, untuk buka mata tentang politik. Ada banyak gerakan dan ide-ide yang bertebaran yang terkadang tak bisa dipertanggungjawabkan. Ada banyak aksi-reaksi yang terkadang tak masuk akal. Tentang politik yang sudah menyatu dengan agama, tentang pertemanan-permusuhan seolah warna hanyalah hitam dan putih, tentang pemikiran “kalau anda tidak benar, berarti anda sudah pasti salah” yang sangat sederhana, dan banyak hal lainnya. Itu tentu saja adalah buah dari demokrasi itu sendiri. Terlepas itu baik atau buruk, semua punya pendapatnya masing-masing.

Bagi saya, tentu saja itu membuat perih hati. Miris. Demokrasi kita tak diseimbangi dengan kedewasaan berpikir. Kebebasan kita berbicara tak diseimbangi dengan kebebasan kita bernalar. Paham-paham anti kritk meraja lela. Ini tentu saja perlu diperbaiki.

Dan untuk itulah saya berterima kasih kepada Bapak Presiden kita yang berhasil menjadi hujan di kemarau panjang. Video-videonya seperti menjelaskan bahwa ada mereka yang diam-diam tak terpengaruh oleh hal-hal semacam itu. Masih banyak mereka yang pribumi tapi tak mempermasalahkan kecinaan sahabat karib mereka. Masih banyak yang kristen jatuh cinta kepada yang muslim tanpa mempermasalahkan kerudungnya. Masih banyak supir angkot yang bukan orang batak. Masih banyak orang padang yang tidak pelit. Masih banyak orang bali yang bukan hindu. Masih banyak yang menolak benci, itu yang lebih penting.

Kejadian-kejadian yang mempertanyakan hati nurani dan kemanusiaan kita itu ternyata tak hanya berdampak buruk. Orang-orang yang mendambakan berpikir rasional akhirnya berkumpul. Mereka membentuk perkumpulan yang menolak kebencian dan berita-berita buruk yang sudah sangat menggerahkan. Mereka menampakkan diri, tak mau tertelan oleh pandangan buruk yang akan merusak generasi. Seperti yang disampaikan oleh Pak Jokowi melalui pidato-pidatonya, mereka menunjukan bahwa perbedaan tak membatasi kebersamaan dan rasa persatuan mereka. Pemimpin-pemimpin daerah pun ikut bermunculan, tak mau ketinggalan langkah. Sebut saja Dedi Mulyadi dari Purwakarta, atau Ridwan Kamil dari Kota Bandung. Mereka kembali mengingatkan kita bahwa perbedaan itu tak perlu ditakuti. Coba bayangkan, how boring it would be if all five power rangers wore the same-coloured outfits and the same weapons?

*

Dari sabang sampai ke merauke. Dari yang berambut lurus, ikal hingga keriting. Dari yang berkulit cerah hingga yang berkulit gelap. Indonesia benar-benar sebuah negara pelangi. Coba dengar musiknya. Dari setiap arah mata angin, semuanya punya ciri khasnya sendiri. Dari semua sudut negeri, semuanya punya gerakan sendiri dalam tariannya. Dari semua dataran yang dihuni, semuanya punya pakaian dan rancangan bangunan yang khas. Lantas, kenapa keberagaman itu harus kita seragamkan?

Demokrasi, toleransi dan keberagaman adalah teman karib yang seharusnya tak bisa dipisahkan. Dalam perbedaan, pasti ada mayoritas dan minoritas. Kala ada mayoritas dan minoritas, maka saat itulah ada ketidakadilan, entah disadari atau tidak. Dan kala ada ketidakadilan, maka disaat itulah diperlukan keadilan. Dan keadilan, mustahil dipenuhi kalau tak ada yang namanya toleransi. Dan toleransi juga akan mustahil tercapai kalau berpendapat tak dibebaskan.

Kita mengerti betul bahwa apel busuk selalu ada. Orang-orang yang bersuara sumbang bisa kita temukan di mana-mana. Mereka tentu saja memiliki hak untuk bersuara, seperti yang lainnya. Namun kata teman saya, kemerdekaan setiap orang itu memiliki batasan dan bersebelahan dengan yang lainnya. Saat kita melewati batas kebebasan kita, maka kita akan mencederai kebebasan orang lain. Di sinilah pentingnya hukum, bukan untuk memperbudak kita tapi untuk menerapkan keadilan. Pemimpin dibutuhkan agar keadilan itu bisa diterapkan. Agar pemimpin itu bisa menerapkan, ia harus paham betul apa batasan-batasan itu.

Kali ini, I’m calling out Ridwan Kamil, the mayor of Bandung City. Walaupun bukan warga asli Bandung, saya termasuk salah seorang yang mengaguminya. Saya bisa merasakan perbedaan wajah kota sejak sebelum dan ketika ia duduk di kursinya. Beliau mampu memperbaiki wajah Bandung sedikit demi sedikit.

Beliau juga adalah orang yang cukup lantang bersuara tentang toleransi dan perbedaan. Bahkan namanya saya sebutkan berdampingan dengan Dedi Mulyadi. Sebagai wali kota kreatif, Beliau sangat menginspirasi anak-anak muda untuk hidup dan menjadi manusia yang lebih baik. Bisa dilihat dari dukungannya atas toleransi di media sosialnya.

Tapi bagaimana pun juga, Beliau adalah manusia. Tak ada manusia yang sempurna. Sebagai putra sunda, Beliau terkenal sangat suka berguyon. Sayangnya, beliau terkadang tak tahu batas-batas yang harus dijaga. Sebagai Walikota, beliau pastinya sadar bahwa apapun yang dikatakan atau ditunjukkan akan berpengaruh terhadap cara pandangan masyarakatnya. Setelah melihat betapa lantangnya Beliau menyampaikan bahwa toleransi itu penting, beliau malah berguyon tentang sesuatu yang bertolak belakang dengan hal itu.

IMG_20170313_160902

Saya kecewa berat ketika melihat foto dan keterangannya. Lebih kecewa lagi ketika tahu siapa yang telah mengunggah dan menuliskannya. Saya tak berburuk sangka apalagi mematikan rasionalitas saya. Kang Emil sudah jelas bermaksud bercanda dalam foto tersebut, layaknya kebanyakan orang sunda lainnya yang suka bergurau. Bahkan bisa dilihat komentar-komentar yang mengikutinya juga ikut terhibur atas candaan itu. Tapi, tidakkah Pak RK berpikir sebelum mengunggah postingan tersebut bahwa itu akan menimbulkan reaksi yang negatif?

Bagi yang lain takkan mengerti apa yang menyinggung dalam tulisan tersebut. Kata “Semoga bukan lelaki” terdengar sebagai lelucon yang tepat karena memang semua tahu bahwa Thailand terkenal sebagai negara yang menyediakan Ladyboy-Ladyboy yang cantik-cantik. Beberapa berkata, apa salahnya kalau yang difoto itu ternyata benar-benar seorang transgender. Tak ada yang salah. Yang salah adalah cara pandang.

Sexist, kata beberapa yang mengerti (orang-orang yang mengerti ini adalah orang-orang yang terlewat sensitif kata mereka yang tak mengerti). Yang disampaikan oleh Kang Emil itu tentu saja adalah bentuk pandangan merendahkan. Beliau sedang membuat orang-orang seperti itu sebagai bahan lelucon. Apa akibatnya? Kalau seorang pemimpin saja menganggap orang-orang seperti itu sebagai lelucon, apalagi orang-orang yang bukan pemimpin. Itu sangat memprihatinkan sekali. Sementara kita diterpa oleh isu-isu dan ucapan-ucapan kebencian, pemimpin yang menambah kebencian atau mendukung kebencian bukanlah yang kita perlukan.

Ridwan Kamil yang menjunjung tinggi penerimaan atas perbedaan di sini tak memahami apa itu perbedaan yang sebenarnya. Perbedaan bukan hanya dilihat dari suku atau keyakinan saja. Ada hal-hal penting lainnya yang perlu kita pahami. Setidaknya, kita sadari bahwa itu ada. Gender dan orientasi seksual adalah contoh gelapnya. Dua hal ini adalah satu yang sulit diakui walau sudah jelas-jelas keberadaannya nyata. Ada beberapa faktor yang menyebabkan itu, seperti agama dan budaya.

Jangankan untuk menerima, banyak orang malah tak tahu perbedaan antara transgender, transvestite dan homoseksualitas. Tak masalah, pastinya, karena semua orang punya kehidupan dan prioritasnya masing-masing. Yang jadi masalah adalah ketika mereka bersedia menyisakan sedikit waktu mereka hanya untuk membenci orang-orang yang tak mereka pahami. Dan di sinilah letak bahayanya pendapat atau guyonan Ridwan Kamil itu. Hanya karena mereka berbeda, lantas menghina mereka dianggap wajar. Kenapa? Lah Wali kota saja membuat mereka sebagai bahan candaan, kok.

Kalau Kang Emil bisa menerima rakyatnya yang katolik, protestan, buddha, hindu tanpa perlu setuju tentang ajaran mereka, lantas mengapa transgender tak mendapatkan perlakuan yang sama? Transgender-transgender atau transvestite-transvestite itu, yang pastinya juga ikut berperan dalam bermsyarakat, tentu saja tak perlu meminta banyak hal. Saya yakin, dianggap ada tanpa harus dibenci atau diolok-olok saja sudah cukup bagi mereka. Tak perlu harus setuju dengan pendapat mereka. Mereka hanya ingin hak-hak hidup mereka dilindungi, tak lebih. Dibenci dan dihina adalah hal terakhir yang mereka harapkan. Apalagi sampai mengendors kebencian terhadap mereka. Mereka juga manusia yang butuh kebahagiaan, bukan?

Setahu saya, yang saya pahami, pemimpin itu harus berlaku adil kepada rakyatnya tanpa pandang bulu, bukan? semoga saja di ujung kalimat yang terkenal itu tak ada tulisan *syarat dan ketentuan berlaku.

Karena warna merah adalah berani, maka Si Putih bersedih. “Aku takkan seberani Si Merah,” isaknya. Sementara itu, Si Merah juga sedih. “Aku takkan sesuci Si Putih,” ujarnya.

 

2 thoughts on “Indonesia : Demokrasi, Toleransi, Jokowi dan Kang Emil

    1. Negara gajah putih, maksudnya? Hehe.
      Mungkin Kang Emil benar bahwa banyaj cowok yang cantik di Thailand. Tapi, apa yang dikomentari dan cara mengomentarinya itulah yang dipermasalahkan di sini.

      “Semoga ia bukan lelaki,” mungkin terdengar lucu bagi beberapa orang. Tapi bagi yang terlahir sebagai laki-laki namun merasa perempuan, itu sama sekali ga lucu. Karena mereka tahu ada nilai merendahkan di kalimat itu.

      Terima kasih sudah mampir. 🙂

      Like

Leave a comment